Sabtu, 05 Oktober 2013

Tiga Bulanan

Tiga Bulanan



photo oleh : Kayun

Upacara Tiga Bulanan dilaksanakan pada saat bayi berusia 105 hari atau tiga bulan menurut perhitungan Kalender Bali, yaitu 3 x 35 hari = 105 hari. Tujuannya adalah:
  1. Berterima kasih kepada “nyama bajang” atas bantuannya menjaga si-bayi sewaktu masih di dalam kandungan dan karena tugasnya sudah selesai, memohon nyama bajang kembali ke tempatnya masing-masing.
  2. Menguatkan kedudukan Atman yang “numitis” di tubuh si-bayi.
  3. Mensucikan si-bayi.
  4. Meresmikan nama yang diberikan orang tua kepada si-bayi.
PENJELASAN NO. 1
Menurut Lontar Tutur Panus Karma, Nyama Bajang adalah kelompok kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa yang bertugas membantu “Kanda Pat” dalam menjaga si-bayi dalam kandungan.
Nyama Bajang terdiri dari 108 mahluk halus, antara lain bernama: bajang colong, bajang dedari, bajang dodot, bajang lembu, bajang yeh, bajang tukad, bajang ambengan, bajang papah, bajang lengis, bajang bukal, bajang kunir, bajang simbuh, bajang deleg, bajang bejulit, bajang yuyu, bajang sapi, bajang kebo, bajang helang, bajang kurkuta, bajang lelawah, bajang kalong, bajang kamumu, bajang haa, dan lain-lain.
Kanda Pat adalah: ari-ari, lamas, getih, dan yeh nyom. Bila nyama bajang tugasnya selesai segera setelah bayi lahir, maka Kanda Pat terus menemani bayi sampai besar – tua bahkan sampai meninggal dunia dengan perubahan nama sebagai berikut:
Segera setelah si-Ibu tidak menstruasi, Kanda Pat terbentuk dengan nama Karen (calon ari-ari), Bra (calon lamas), Angdian (calon getih), dan Lembana (calon yeh nyom); embrio bernama Lengprana.
Ketika kandungan berusia 20 hari Kanda Pat bernama Anta (calon ari-ari), Prata (calon lamas), Kala (calon getih), Dengen (calon yeh nyom); si-jabang bayi bernama Lilacita.
Kandungan berusia 40 minggu/ bayi lahir, Kanda Pat bernama Ari-ari, Lamas, Getih, dan Yeh nyom; bayi bernama I Pung.
Setelah tali pusar mengering dan putus, Kanda Pat bernama I Mekair (ex ari-ari), I Salabir (ex lamas), I Mokair (ex getih), dan I Selair (ex yeh-nyom); si bayi bernama I Tutur Menget.
Setelah bayi belajar berkata-kata, Kanda Pat bernama Sang Anggapati (ex ari-ari), Sang Prajapati (ex lamas), Sang Banaspati (ex getih), dan Sang Banaspati Raja (ex yeh nyom); si bayi bernama I Jiwa.
Anak remaja berusia 14 tahun atau gadis yang telah menstruasi pertama, Kanda Pat bernama Sang Sida Sakti (ex ari-ari), Sang Sida Rasa (ex lamas), Sang Maskuina (ex getih), dan Sang Aji Putra Petak (ex yeh nyom); anak bernama I Lisah.
Manusia sudah tua/ bercucu, Kanda Pat bernama Sang Podgala (ex ari-ari), Sang Kroda (ex lamas), Sang Sari (ex getih), dan Sang Yasren (ex yeh nyom); manusia bernama Sang Ramaranurasi.
Bila manusia baru meninggal dunia, Kanda Pat bernama Sang Suratma (ex ari-ari), Sang Jogormanik (ex lamas), Sang Mahakala (ex getih), dan Sang Dorakala (ex yeh nyom); Atma bernama Sang Manjing.
Atman yang masih dibungkus oleh Karmawasana ber-reinkarnasi ke dunia, sedangkan Atman yang sudah bebas dari bungkusan Karmawasana bersatu dengan Tuhan (Kanda Pat bersatu pada): Siwa (ex ari-ari), Sada Siwa (ex lamas), Parama Siwa (ex getih), dan Sunia Siwa (ex yeh nyom).
Pada waktu Upacara Tiga Bulanan, sebagai ucapan terima kasih dan ucapan “selamat jalan” (semacam farewell party) kepada Nyama Bajang, dilaksanakanlah acara “Mebajang colong” atau “Mecolongan”.
Upakara yang disiapkan adalah banten Bajang Colong sedangkan Nyama Bajang disimbolkan dengan “raregek”.
Selain itu Kanda Pat juga diupacarai dan disimbolkan sebagai berikut: papah kelapa (kalau ada yang bolong) simbol ari-ari, mentimun simbol lamas, pusuh (jantung pisang) simbol getih, dan batu bulitan simbol yeh nyom.
Peralatan/ upakara lainnya yang digunakan: ayam pesolsolan simbol atma, pane simbol bumi, air dalam pane simbol akasa, lesung batu simbol kekuatan, tangga tebu simbol Sanghyang Semara Ratih, palit tangga tebu dari kayu dap-dap tiga buah simbol utpti-stiti-pralina, gelang kaki simbol Brahma, gelang tangan simbol Wisnu, dan pupuk simbol Siwa.
Terlebih dahulu simbol-simbol itu diupacarai dengan urutan: mareresik, mapasupati, matepung tawar, malis-lis, dan ngayab banten.
Setelah simbol-simbol itu diupacarai, segera di-pralina: raregek dan papah dibawa ke pinggir sungai diiringi lagu “Bibi anung”, batu bulitan, pusuh, dan mentimun ditanam di dekat tanaman ari-ari.
Setelah itu barulah bayi dimandikan di-pane setelah menaiki tangga tebu tanpa menginjak tanah, diteruskan dengan “megogo-gogoan”.
PENJELASAN NO. 2
Setelah megogo-gogoan, bayi natab banten Bajang Colong yang tadi digunakan untuk simbol-simbol itu, kemudian mapasolsolan ayam sebagai simbol menguatkan kedudukan atma pada tubuh si bayi.
PENJELASAN NO. 3
Sebelum bayi natab banten sambutan, dilakukan upacara “mapetik”, yaitu memotong rambut bayi di lima tempat, yaitu di ubun-ubun, di samping kanan, belakang, samping kiri, dan di “usehan” sebagai simbol membuang “leteh” atau kotoran karena rambut itulah yang dibawanya sejak dari rahim Ibu.
Dengan rangkaian upacara ini maka hilanglah sebel (cuntaka) bagi si-bayi. Apabila ada orang yang belum diupacarai tiga bulanan, walaupun sampai tua dia tetap sebel (cuntaka).
PENJELASAN NO. 4
Setelah selesai acara natab sambutan, maka bayi dihadapkan ke Palinggih Kemulan. Tanah di depan Kemulan terlebih dahulu dirajah dengan gambar Bedawang Nala, diperciki tirta palukatan/ pabersihan; kaki bayi dicuci dengan air biasa, lalu diinjakkan di tanah itu tiga kali sembari matur kepada Ida Bethara Kemulan nama yang diberikan kepada si bayi.
Inilah pertama kali bayi boleh menginjakkan kakinya di tanah. Pemberian nama kepada bayi mengandung nilai sakral karena dilakukan di hadapan Ida Bethara Kemulan. Oleh karena itu nama seseorang tidak boleh diganti oleh siapapun kecuali oleh Ayah-Ibu kandungnya.
Di masyarakat sering terjadi kekeliruan, yaitu mengganti nama orang seenaknya, misalnya oleh yang bersangkutan sendiri dengan maksud agar kelihatan lebih keren.
Selain itu bagi wanita keturunan orang tidak bertitel Triwangsa, jika dikawini oleh laki-laki keturunan orang yang bertitel Triwangsa, lalu namanya diganti dengan sebutan Jero. Nama Jero … itu “anugerah” dari pihak laki-laki, katanya untuk meningkatkan status “wangsa” si gadis.
Menurut Lontar Dharma Kauripan, tindakan ini salah karena menghianati kasih sayang Ayah-Ibu (Guru Rupaka), apalagi kalau ayah-ibu kandungnya sendiri lalu “matur” kepada anaknya dengan sebutan Jero.
Anak dan keturunannya kemudian tidak akan menemukan kebahagiaan karena mengabaikan salah satu “Panca Srada”, yaitu hormat kepada leluhur.
Inilah salah satu contoh paham feodalisme yang meracuni Agama Hindu. Seharusnya nama gadisnya tetap digunakan selama hayat di kandung badan.
Lain halnya dengan seseorang yang me-Dwijati, nama ketika Walaka diganti dengan nama baru (Bhiseka) karena orang yang bernama Walaka itu telah “seda raga” sehari sebelum upacara Padiksaan.
Pada upacara Padiksaan lahirlah seorang Brahmana dari Mpu Nabe (Guru putra) dan Gayatri (Weda) di mana Mpu Nabe memberikan nama (Bhiseka) yang baru.
Di zaman dahulu, Raja-raja juga berganti nama setelah dinobatkan (Bhiseka Ratu) oleh Pendeta (Mpu Nabe) sebagai raja; misalnya Airlangga ketika dinobatkan sebagai Raja Kediri pada tahun 1019 Masehi bergelar Sri Maharaja Rakehalu Sri Lokaiswara Dharmawangsa Erlangga Anantawikramattunggadewa.
Kemudian setelah berusia lanjut beliau meninggalkan tahta kerajan lalu menjadi Pendeta di mana Mpu Nabe-nya memberikan Bhiseka: Rsi Jatayu.
Bagi para rohaniawan Ekajati karena tidak melalui upacara Seda Raga namanya tidak diganti tetapi diberikan gelar kesucian misalnya Jero Mangku, Jero Mangku Gede, Jero Dalang, Jero Gede dan lain-lain, tidak beda dengan gelar-gelar keahlian dewasa ini misalnya SE, SH, Drs, dr, Dr, Prof, dll.
Dalam kasus-kasus itu nama kelahiran tetap tidak diganti. Demikianlah segi sakral suatu nama bagi seseorang menurut pemahaman Agama Hindu yang benar.

dikutip dari : http://stitidharma.org/tiga-bulanan/

Sabtu, 10 November 2012

Bakti


photo by : Kayun

Dalam kehidupan beragama di Bali, umat Hindu tentunya tidak lepas dari yang namanya Sembahyang / Bakti
Sembahyang merupoakan suatu bentuk kegiatan yang menghendaki terjalinnya hubungan dengan Tuhan, dewa, roh atau kekuatan gaib yang dipuja. Sembahyang dapat dilakukan secara bersama-sama atau perseorangan. Dalam sembahyang dapat ini tidak lepas juga diiringi nyanyian berupa hymne, tarian, pembacaan naskah agama dengan dinyanyikan.
Seringkali sembahyang dibedakan dengan doa, doa lebih bersifat spontan dan personal, serta umumnya tidak bersifat ritualistik. Meskipun demikian pada hakikatnya aktivitas ini sama, yakni sebuah bentuk komunikasi antara manusia dengan Tuhan.

Senin, 18 Juli 2011

Kwangen Sebagai Sarana Sembahyang dan Video Proses Pembuatannya


Sesungguhnya Kwangen atau Kuangen ini tidak hanya hiasan belaka. Tetapi, di dalamnya sarat makna simbolis. dimana Kwangen ini sebagai media bagi umat untuk menghubungkan diri dengan Sang Pencipta.
Perlengkapan kuangen terdiri atas kojong dari daun pisang ( namun di beberapa daerah menggunakan janur sebagai penggantinya namun masih berupa kojong), plawa dan hiasan (pepayasan) bunga dan peporosan yang bernama silih. Peporosan silih asih itu terbuat dari dua lembar daun sirih berisi kapur (pamor). Di samping itu kuangen dilengkapi uang kepeng.Kojong itu disimbolkan angka tiga, potongan kojong di atas merupakan simbol ardha candra, uang kepeng sebagai simbol windu, bunga dan daun plawa sebagai lambang nada. Dalam Lontar Sri Jaya Kusunu, kuangen disebut sebagai lambang Omkara (aksara suci Tuhan). Sementara dalam Brihad Arinyaka Upanisad, kuangen lambang Ida Sang Hyang Widhi Wasa. 
Kwangen disebut sebagai lambang Omkara (aksara suci Tuhan).

Cara penggunaan kuangen yang benar adalah muka kuangen berhadap-hadapan dengan muka umat.

(dipetik dari http://berita.balihita.com/pengertian-kuangen-kwangen.html)


Pada kesempatan kali ini saya akan mencoba membahas cara pembuatan Kuangen tersebut...

Adapun bahan bahan nya antara lain :

Janur.


Aneka Bunga, aneka Plawa (daun daun warna warni), porosan
Semat

Video Proses pembuatan Kwangen ini dapat didownload disini

Rabu, 29 Juni 2011

Hari Raya Galungan dan Kuningan

Sejarah hari raya galunga dan kuningan

Berdasarkan pustaka 'Panji Alamat Rasmi' di Jawa Timur pada jaman Jenggala (abad XI), hari raya ini sudah dirayakan. Demikian juga pada 'Pararaton' akhir jaman kerajaan Majapahit pada abad XVI, hari raya ini juga telah dirayakan.
Hari Raya Galungan mempunyai arti "Pawedalan Jagat" atau "Oton Gumi". Ini bukan berarti gumi/jagat lahir pada hari Budha Keliwon wuku Dungulan. Melainkan pada hari itulah umat Hindu menghaturkan 'maha suksemaning idepnya' (rasa terima kasih) kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan atas terciptanya dunia beserta segala isinya. Pada hari inilah umat Hindu 'angayubagia' (bergembira), bersyukur atas karunia-Nya.
Ngaturang maha suksmaning idep, angayubagia adalah suatu pertanda jiwa yang sadar akan 'kinasihan', tahu akan hutang budi 

Hubungan Mayadanawa dengan Hari Raya Galungan 

Dikisahkan di Desa Blingkang (kira-kira sebelah utara Danau Batur), bertahta seorang raja yang sangat sakti yang bernama Mayadanawa. Mayadanawa merupakan raja keturunan daitya, anak dari Dewi Danu. Karena kesaktiannya ia dapat merubah wujudnya menjadi bermacam-macam rupa dan bentuk.
Raja ini dikatakan menguasai Makasar, Sumbawa, Bugis, Lombok, dan Blambangan. Karena sakti dan berkuasanya, Mayadanawa menjadi sombong dan timbul sifat angkara murkanya. Pada jaman ini juga hidup seorang Mpu yang juga sakti yaitu Mpu Kulputih. Oleh Mayadanawa rakyat Bali tidak diperkenankan menyembah Tuhan, dilarang sembahyang, dan kahyangan-kahyangan/pura dirusaknya.
Karena tindakan ini rakyat Bali menjadi sengsara, tanam-tanaman menajdi rusak, orang-orang terserang penyakit. Rakyat tidak berani melawan atau membantah kehendak Mayadanawa karena sakti dan berkuasanya.
Melihat keadaan ini, Mpu Kulputih merasa prihatin. Ia kemudian melakukan yoga semadi di Pura Besakih untuk memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa untuk dapat mengatasi kekacauan masyarakat Bali yang ditimbulkan oleh tindakan rajanya. Beliau lalu mendapat wahyu dari Bhatara Mahadewa agar meminta pertolongan ke Jambu Dwipa (India).
Tidak jelas siapa akhirnya yang berangkat ke India, dan bagaimana sampai ada dikisahkan datang pasukan dari 'Sorga' untuk menyerang Mayadanawa. Hanya dikisahkah bahwa pasukan dari Sorga dipimpin oleh Bhatara Indra dengan disertai pasukan yang kuat dan persenjataan lengkap menuju Bali. Dalam penyerangan itu, sayap kanan pasukannya dipimpin oleh Citrasena dan Citrangada.
Pasukan sayap kiri dipimpin oleh Sang Jayantaka, sedangkan induk pasukan cadangan dipimpin Gandarwa. Untuk menyelidiki keadaan keraton Mayadanawa dikirim Bhagawan Narada. Dipihak lain Mayadanawa telah pula mengetahui rencana serangan pasukan Bhatara Indra ini, karena ia banyak mempunyai mata-mata.
Oleh karena itu ia menyiapkan pasukannya untuk menghadapi serangan pasukan dari Sorga itu. Peperanganpun tidak dapat dihindari, terjadilah pertempuran yang sangat hebat dan menelan banyak korban dari kedua belah pihak.
Namun karena pasukan Bhatara Indra lebih tangguh, akhirnya pasukan Mayadanawa kocar-kacir dan akhirnya melarikan diri meninggalkan raja dan patihnya yang bernama Si Kala Wong. Nasib Mayadanawa dan patihnya ternyata lagi baik, karena sebelum sempat dibunuh peperangan harus dihentikan dulu, karena hari sudah gelap.
Malam harinya saat pasukan dari Sorga sedang tertidur pulas, datanglah Mayadanawa dan menciptakan 'air cetik' (air beracun) di dekat tempat tidur pasukan dari Sorga. Kemudian Mayadanawa meninggalkan tempat itu, dan untuk menghilangkan jejak, ia kemudian berjalan dengan memiringkan telapak kakinya.
Tempat itu selanjutnya kita kenal dengan Tampak Siring. Keesokan harinya pasukan dari Sorga bangun dari tidurnya dan minum air yang diciptakan Mayadanawa. Anggota pasukan itu akhirnya menjadi sakit semua.
Bhatara Indra yang mengetahui hal ini, kemudian menciptakan sumber air yang lain yang dinamakan 'Tirta Empul'. Karena kekuatan air yang diciptakan Bhatara Indralah, anggota pasukan yang tadinya sakit menjadi sembuh kembali. Aliran air dari Tirta Empul ini menjadi sungai yang diberi nama Tukad Pakerisan.
Bhatara Indra dan pasukannya kemudian mengejar Mayadanawa yang telah melarikan diri dengan patihnya. Dalam pelariannya Mayadanawa merubah wujudnya menjadi 'manuk raya' (unggas yang besar). Tempat ia mengubah wujudnya, kemudian dikenal dengan Desa Manukaya. Bhatara Indra yang sakti tidak dapat dikelabui oleh Mayadanawa.
Kemudian Mayadanawa kembali merubah wujudnya beberapa kali menjadi 'buah timbul', 'busung', 'susuh', menjadi 'bidadari' dan akhirnya mengubah dirinya menjadi batu paras bersama Si Kala Wong. Kedua batu paras ini kemudian berhasil dipanah oleh Bhatara Indra, sehingga raja dan patihnya menemui ajalnya.
Darah keduanya terus mengalir dan menjadi sungai yang disebut Tukad Petanu. Sungai ini dipastu/dikutuk, jika air sungai itu dipergunakan untuk mengairi sawah, padinya akan menjadi subur, tetapi bila dipetik akan mengeluarkan darah dan berbau bangkai. Pastu/kutuk ini berlaku selama 1000 tahun.
Desa tempat Mayadanawa merubah wujud menjadi buah timbul selanjutnya disebut Desa Timbul, tempat ia berubah menjadi busung dinamai Desa Blusung, tempat merubah dirinya menjadi susuh disebut Desa Penyusuhan, dan tempat ia merubah wujudnya menjadi bidadari dinamai Desa Kedewatan (Ubud).
Kematian raja Mayadanawa ini merupakan kemenangan bagi umat beragama terhadap kaum Atheis (tak beragama). Hari kemenangan ini lalu diperingati enam bulan sekali (atau 6 kali 35 hari = 210 hari) yang dinamai Hari Raya Galungan. Ada kemungkinan karena Hari Raya Galungan jatuh pada wuku Galungan, maka disebut Hari raya Galungan, seperti juga Hari Raya Kuningan yang jatuh pada wuku Kuningan.
Pelaksanaan Hari Raya Galungan dan Kuningan bertitik tolak pada Tumpek Wariga atau Tumpek Pengarah disela tonggak persiapan Galungan dan Kuningan sampai dengan Budha Keliwon Pahang yang juga disebut Budha Keliwon Pegat Wakan.

Urutan perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan 

Wrespathi Wage Sungsang
adalah Hari Sugimanek Jawa / sugian Jawa, hari pesucian para Dewa, turunnya para Bhatara-Bhatari yang diiringi oleh para Pitara-Pitari. Pada hari ini merebu di Merajan Parhyangan dengan sesajen pengerebon dan pengeresikan puspa wangian. 

Sukra Keliwon Sungsang 
adalah Hari Sugimanek Bali, hari yang khusus untuk menyucikan diri. Menyucikan diri dari pengaruh keduniawian. Pada hari ini sebaiknya matirtha yatra (matirtha gocara) artinya pergi ke tempat-tempat suci sambil menghayati ajaran-ajaran suci yang kita dapati dari petunjuk agama.

Saniscara Umanis Sungsang 
adalah bersiap-siap untuk hari berikutnya. Bersiap-siap menghadapi ujian lahir dan batin dalam ketenangan, kesabaran, kewaspadaan, dan ketawakalan.
Panyekeban/Panapean, Redite Pahing Dungulan ialah hari dimulainya umat Hindu melakukan Yoga Samadhi, karena pada hari ini turunnya Sang Kala Tiga Wisesa menjadi Bhuta Galungan, untuk menggoda bathin umat manusia. Mulai Redite, Soma, dan Anggara Wuku Dungulan ini sebagai turunnya Bhuta Galungan, Bhuta Dungulan, dan Bhuta Amangkurat. Pada hari ini dilakukan Nyekep/peram bahan yang perlu diperam misalnya tape, pisang, yang dipersiapkan untuk Galungan. Juga membuat jajan- jajan untuk sesajen Galungan.


Anggara Wage Dungulan
Yaitu Penampahan, ialah hari dimana godaan datang dari Bhuta Amangkurat. Kalau kita lengah dan tidak kuat akan dapat digoda oleh Sang Bhuta. Pada hari ini melakukan Bhuta Yadnya di Catuspata, caru tiap pekarangan, segehan berwarna menurut urip dan tempat, misal tumpeng lima buah di Timur, Selatan 9 buah, Barat 7 buah, Utara 4 buah, dan Tengah 8 buah. Dihaturkan kepada Sang Bhuta Galungan.
Galungan, Budha Keliwon Dungulan adalah hari untuk bergembira, karena tercapainya pikiran yang galang/tenang, setelah menghadapi ujian lahir bathin dari Sang Bhuta Galungan atau dihubungkan dengan kemenangan Dharma melawan Adharma. Pada hari ini ngaturang sesajen kehadapan para Dewa, Bhatara-Bhatari, serta Dewa Pitara sebagai pengiringnya turun ke bumi.

Umanis Galungan, Wrespathi Umanis Galungan 
adalah hari nyarinin Galungan. Umat disilahkan menikmati semua anugerah yang dilimpahkan Sang Hyang Widhi Wasa. Hari ini memperbaharui sesajen/nganyarin sambil menikmati seni budaya yang keliling (ngelawang). 

Pahing Galungan, Sukra Pahing Dungulan
masih dalam keadaan waspada dengan kesucian bathin.
Pamaridan Guru, Saniscara Pon Dungulan, ialah hari ngeluhurnya (naiknya) para Dewa Kabeh, dengan meninggalkan atau menganugerahkan kesejahteraan di dunia ini. Biasanya pada saat ini umat melakukan Tirthayatra ke tempat suci. Menghaturkan sesajen/banten anaman, canang raka, dan wangi-wangian sederhana.

Ulihan, Redithe Wage Kuningan 
ialah hari Angulihaken prikramaning pratekaning Kuningan. Saat inilah waktunya mengenang jasa para leluhur yang telah meninggalkan kita, serta melanjutkan perjuangannya menegakkan kebenaran/dharma.

Pamacekan Agung, Soma Keliwon Kuningan
ialah hari memanjatkan tekad yang baik di tengah-tengah kesucian bathin, karena hari pamacekan artinya 'Pacek' yang berarti tengah. Yaitu hari diantara Galungan dan Kuningan, tepatnya 5 hari setelah Galungan, dan 5 hari sebelum Kuningan. Filosofinya adalah kita berada di tengah-tengah kesucian bathin. Pada saat ini menghaturkan Segehan Agung di muka pintu gerbang.

Penampahan Kuningan, Sukra Wage Kuningan 
ialah hari untuk mempersiapkan bahan untuk besoknya (Kuningan).

Tumpek Kuningan, Saniscara Keliwon Kuningan
ialah hari turunnya kembali Dewa-Dewi, Bhatara-Bhatari diiringi para Pitara namun hanya sampai tengah hari (12.00 siang), sesuai dengan hari Sugimanek Jawa. Pada hari ini umat sebaiknya introspeksi diri dengan cara konsentrasi, meditasi, demi kesejahteraan umat. Sarana upacara hari ini adalah selanggi, tebog, gantung-gantungan (endongan), pada tiap- tiap bangunan rumah dan perlengkapannya. Pada halaman rumah menghaturkan Segehan Agung, umat/orangnya ngayab sesayut prayascita lewih, sesayut segan kuning, iwak itik putih, dan penyeneng.

Pegat Wakan, Budha Keliwon Pahang 
ialah hari berakhirnya melakukan Tapa-Brata karena telah berjalan selama 42 hari. Terhitung dari Sugimanek Jawa sampai Budha Keliwon Pahang (Pegat Wakan). Selanjutnya umat melaksanakan atau mengamalkan hasil Tapa-Bratha yang berguna untuk masyarakat, sebagaimana menjelang permulaan hari raya. Pada saat ini umat mempersembahkan sesayut dirgayusa, penyeneng, dipersembahkan kehadapan Hyang Widhi Wasa.

Yang Unik dari Galungan dan kuningan adalah Penjor

Penjor merupakan perlambang dari Gunung Agung sekaligus perlambang kehadiran Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan. Penjor sendiri sebetulnya sarat akan makna/penuh arti. Pada penjor digantungkan hasil-hasil pertanian seperti padi, jagung, kelapa, jajan, dll. Juga terdapat barang sandang seperti kain/kasa, serta uang. Ini merupakan sebuah peringatan/tanda yang perlu diingat oleh semua manusia, bahwa apa yang kita nikmati di dunia ini adalah atas karunia-Nya.
Pemasangan penjor dilakukan paling lambat pada Hari Penampahan Galungan. Penjor adalah perlambang Gunung Udaya/Tohlang kir atau Gunung Agung, untuk menyatakan rasa terima kasih dan bersyukur atas hasil bumi yang dianugerahkan. Gunung Agung merupakan perlambang kesucian sebagai perantara terhadap Gunung Semeru, Gunung Himalaya atau Mahameru yang dipercaya sebagai tempat sthananya Bhatara Putra Jaya.

Dipetik dari: http://www.baliaga.com/indonesia/religi/religidasar_galungan.html

Minggu, 26 Juni 2011

Jadwal Pesta Kesenian Bali 2011

Pesta Kesenian Bali


Waktu:
10 Juni 2011-09 Juli 2011

Tempat:
Taman Budaya Denpasar & Institut Seni Indonesia (ISI),
Kota Denpasar, Provinsi Bali, Indonesia

Deskripsi:

Pesta Kesenian Bali (PKB) merupakan salah satu agenda budaya tahunan yang diselenggarakan di Bali. Pesta Kesenian Bali ke-33 tahun 2011 digelar selama sebulan penuh dan mengangkat tema "Desa, Kala, Patra" atau yang bermakna “adaptasi diri dalam multikultur”. Pesta budaya ini akan melibatkan ribuan seniman dari Bali dan 11 daerah di Indonesia serta 5 negara sahabat. Beberapa daerah yang sudah menyatakan kesiapannya antara lain: Sumatra Utara, Sumatra Barat, Lampung, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Barat, Ternate, dan Sulawesi Utara. Sedangkan 5 negara sahabat turut serta di PKB 2011 adalah Malaysia, Amerika Serikat, India, Australia, dan Jepang.

PKB ke-33 tahun 2011 mencanangkan sejumlah kegiatan utama, yaitu pawai dan atraksi budaya, aneka perlombaan dan pementasan kesenian, pameran industri kecil dan kerajinan, serta sarasehan. Seluruh kegiatan hiburan dipusatkan di Taman Budaya Denpasar. Sedangkan sarasehan dilangsungkan di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Sejumlah atraksi seni yang akan disajikan dalam pembukaan PKB adalah gong kebyar, belaganjur, angklung, lagu daerah Bali, dan parade ngelawang. Acara pembukaan juga akan dimeriahkan dengan sendratari kolosal "Bhisma Dewabharata" di Ardha Candra Taman Budaya, yang rencananya akan disaksikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama sejumlah menteri. Beberapa kesenian tradisional lain yang akan ditampilkan antara lain joget bumbung, wayang topeng, prembon, dan masih banyak lagi.
   
Adapun Jadwal Pesta Kesenian Bali 2011 adalah :




Tari Tenun


Tari Tenun

Tari Tenun melukiskan seorang wanita Bali yang sedang menenun. Dalam tarian ini dilukiskan keindahan gerak-gerakan memintal benang, mengatur benang dan ketrampilan tangan dan jari pada kegiatan menenun.
Tarian ini umumnya dibawakan oleh tiga orang penari atau lebih. Tari Tenun diciptakan oleh I Nyoman Ridet dan I Wayan Likes pada tahun 1957.


Tari Margapati

Tari Margapati

Tari Margapati adalah tari bebancihan, dimana penarinya adalah perempuan tetapi menarikannya dengan gaya lelaki.Margapati berasal dari kata (mrga = binatang, pati = raja) yang dapat diartikan sebuah tarian yang melukiskan gerak-gerak seekor raja hutan (singa) yang sedang berkelana di tengah hutan untuk memburu mangsanya.
Tarian ini termasuk Tari Putra Keras dan merupakan ciptaan oleh I Nyoman Kaler pada tahun 1942.