Sejarah hari raya galunga dan kuningan
Berdasarkan pustaka 'Panji Alamat Rasmi' di Jawa Timur pada jaman Jenggala (abad XI), hari raya ini sudah dirayakan. Demikian juga pada 'Pararaton' akhir jaman kerajaan Majapahit pada abad XVI, hari raya ini juga telah dirayakan.
Hari Raya Galungan mempunyai arti "Pawedalan Jagat" atau "Oton Gumi". Ini bukan berarti gumi/jagat lahir pada hari Budha Keliwon wuku Dungulan. Melainkan pada hari itulah umat Hindu menghaturkan 'maha suksemaning idepnya' (rasa terima kasih) kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan atas terciptanya dunia beserta segala isinya. Pada hari inilah umat Hindu 'angayubagia' (bergembira), bersyukur atas karunia-Nya.
Ngaturang maha suksmaning idep, angayubagia adalah suatu pertanda jiwa yang sadar akan 'kinasihan', tahu akan hutang budi
Hubungan Mayadanawa dengan Hari Raya Galungan
Dikisahkan di Desa Blingkang (kira-kira sebelah utara Danau Batur), bertahta seorang raja yang sangat sakti yang bernama Mayadanawa. Mayadanawa merupakan raja keturunan daitya, anak dari Dewi Danu. Karena kesaktiannya ia dapat merubah wujudnya menjadi bermacam-macam rupa dan bentuk.
Raja ini dikatakan menguasai Makasar, Sumbawa, Bugis, Lombok, dan Blambangan. Karena sakti dan berkuasanya, Mayadanawa menjadi sombong dan timbul sifat angkara murkanya. Pada jaman ini juga hidup seorang Mpu yang juga sakti yaitu Mpu Kulputih. Oleh Mayadanawa rakyat Bali tidak diperkenankan menyembah Tuhan, dilarang sembahyang, dan kahyangan-kahyangan/pura dirusaknya.
Karena tindakan ini rakyat Bali menjadi sengsara, tanam-tanaman menajdi rusak, orang-orang terserang penyakit. Rakyat tidak berani melawan atau membantah kehendak Mayadanawa karena sakti dan berkuasanya.
Melihat keadaan ini, Mpu Kulputih merasa prihatin. Ia kemudian melakukan yoga semadi di Pura Besakih untuk memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa untuk dapat mengatasi kekacauan masyarakat Bali yang ditimbulkan oleh tindakan rajanya. Beliau lalu mendapat wahyu dari Bhatara Mahadewa agar meminta pertolongan ke Jambu Dwipa (India).
Tidak jelas siapa akhirnya yang berangkat ke India, dan bagaimana sampai ada dikisahkan datang pasukan dari 'Sorga' untuk menyerang Mayadanawa. Hanya dikisahkah bahwa pasukan dari Sorga dipimpin oleh Bhatara Indra dengan disertai pasukan yang kuat dan persenjataan lengkap menuju Bali. Dalam penyerangan itu, sayap kanan pasukannya dipimpin oleh Citrasena dan Citrangada.
Pasukan sayap kiri dipimpin oleh Sang Jayantaka, sedangkan induk pasukan cadangan dipimpin Gandarwa. Untuk menyelidiki keadaan keraton Mayadanawa dikirim Bhagawan Narada. Dipihak lain Mayadanawa telah pula mengetahui rencana serangan pasukan Bhatara Indra ini, karena ia banyak mempunyai mata-mata.
Oleh karena itu ia menyiapkan pasukannya untuk menghadapi serangan pasukan dari Sorga itu. Peperanganpun tidak dapat dihindari, terjadilah pertempuran yang sangat hebat dan menelan banyak korban dari kedua belah pihak.
Namun karena pasukan Bhatara Indra lebih tangguh, akhirnya pasukan Mayadanawa kocar-kacir dan akhirnya melarikan diri meninggalkan raja dan patihnya yang bernama Si Kala Wong. Nasib Mayadanawa dan patihnya ternyata lagi baik, karena sebelum sempat dibunuh peperangan harus dihentikan dulu, karena hari sudah gelap.
Malam harinya saat pasukan dari Sorga sedang tertidur pulas, datanglah Mayadanawa dan menciptakan 'air cetik' (air beracun) di dekat tempat tidur pasukan dari Sorga. Kemudian Mayadanawa meninggalkan tempat itu, dan untuk menghilangkan jejak, ia kemudian berjalan dengan memiringkan telapak kakinya.
Tempat itu selanjutnya kita kenal dengan Tampak Siring. Keesokan harinya pasukan dari Sorga bangun dari tidurnya dan minum air yang diciptakan Mayadanawa. Anggota pasukan itu akhirnya menjadi sakit semua.
Bhatara Indra yang mengetahui hal ini, kemudian menciptakan sumber air yang lain yang dinamakan 'Tirta Empul'. Karena kekuatan air yang diciptakan Bhatara Indralah, anggota pasukan yang tadinya sakit menjadi sembuh kembali. Aliran air dari Tirta Empul ini menjadi sungai yang diberi nama Tukad Pakerisan.
Bhatara Indra dan pasukannya kemudian mengejar Mayadanawa yang telah melarikan diri dengan patihnya. Dalam pelariannya Mayadanawa merubah wujudnya menjadi 'manuk raya' (unggas yang besar). Tempat ia mengubah wujudnya, kemudian dikenal dengan Desa Manukaya. Bhatara Indra yang sakti tidak dapat dikelabui oleh Mayadanawa.
Kemudian Mayadanawa kembali merubah wujudnya beberapa kali menjadi 'buah timbul', 'busung', 'susuh', menjadi 'bidadari' dan akhirnya mengubah dirinya menjadi batu paras bersama Si Kala Wong. Kedua batu paras ini kemudian berhasil dipanah oleh Bhatara Indra, sehingga raja dan patihnya menemui ajalnya.
Darah keduanya terus mengalir dan menjadi sungai yang disebut Tukad Petanu. Sungai ini dipastu/dikutuk, jika air sungai itu dipergunakan untuk mengairi sawah, padinya akan menjadi subur, tetapi bila dipetik akan mengeluarkan darah dan berbau bangkai. Pastu/kutuk ini berlaku selama 1000 tahun.
Desa tempat Mayadanawa merubah wujud menjadi buah timbul selanjutnya disebut Desa Timbul, tempat ia berubah menjadi busung dinamai Desa Blusung, tempat merubah dirinya menjadi susuh disebut Desa Penyusuhan, dan tempat ia merubah wujudnya menjadi bidadari dinamai Desa Kedewatan (Ubud).
Kematian raja Mayadanawa ini merupakan kemenangan bagi umat beragama terhadap kaum Atheis (tak beragama). Hari kemenangan ini lalu diperingati enam bulan sekali (atau 6 kali 35 hari = 210 hari) yang dinamai Hari Raya Galungan. Ada kemungkinan karena Hari Raya Galungan jatuh pada wuku Galungan, maka disebut Hari raya Galungan, seperti juga Hari Raya Kuningan yang jatuh pada wuku Kuningan.
Pelaksanaan Hari Raya Galungan dan Kuningan bertitik tolak pada Tumpek Wariga atau Tumpek Pengarah disela tonggak persiapan Galungan dan Kuningan sampai dengan Budha Keliwon Pahang yang juga disebut Budha Keliwon Pegat Wakan.
Urutan perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan
Wrespathi Wage Sungsang
adalah Hari Sugimanek Jawa / sugian Jawa, hari pesucian para Dewa, turunnya para Bhatara-Bhatari yang diiringi oleh para Pitara-Pitari. Pada hari ini merebu di Merajan Parhyangan dengan sesajen pengerebon dan pengeresikan puspa wangian.
Sukra Keliwon Sungsang
adalah Hari Sugimanek Bali, hari yang khusus untuk menyucikan diri. Menyucikan diri dari pengaruh keduniawian. Pada hari ini sebaiknya matirtha yatra (matirtha gocara) artinya pergi ke tempat-tempat suci sambil menghayati ajaran-ajaran suci yang kita dapati dari petunjuk agama.
Saniscara Umanis Sungsang
adalah bersiap-siap untuk hari berikutnya. Bersiap-siap menghadapi ujian lahir dan batin dalam ketenangan, kesabaran, kewaspadaan, dan ketawakalan.
Panyekeban/Panapean, Redite Pahing Dungulan ialah hari dimulainya umat Hindu melakukan Yoga Samadhi, karena pada hari ini turunnya Sang Kala Tiga Wisesa menjadi Bhuta Galungan, untuk menggoda bathin umat manusia. Mulai Redite, Soma, dan Anggara Wuku Dungulan ini sebagai turunnya Bhuta Galungan, Bhuta Dungulan, dan Bhuta Amangkurat. Pada hari ini dilakukan Nyekep/peram bahan yang perlu diperam misalnya tape, pisang, yang dipersiapkan untuk Galungan. Juga membuat jajan- jajan untuk sesajen Galungan.
Anggara Wage Dungulan
Yaitu Penampahan, ialah hari dimana godaan datang dari Bhuta Amangkurat. Kalau kita lengah dan tidak kuat akan dapat digoda oleh Sang Bhuta. Pada hari ini melakukan Bhuta Yadnya di Catuspata, caru tiap pekarangan, segehan berwarna menurut urip dan tempat, misal tumpeng lima buah di Timur, Selatan 9 buah, Barat 7 buah, Utara 4 buah, dan Tengah 8 buah. Dihaturkan kepada Sang Bhuta Galungan.
Galungan, Budha Keliwon Dungulan adalah hari untuk bergembira, karena tercapainya pikiran yang galang/tenang, setelah menghadapi ujian lahir bathin dari Sang Bhuta Galungan atau dihubungkan dengan kemenangan Dharma melawan Adharma. Pada hari ini ngaturang sesajen kehadapan para Dewa, Bhatara-Bhatari, serta Dewa Pitara sebagai pengiringnya turun ke bumi.
Umanis Galungan, Wrespathi Umanis Galungan
adalah hari nyarinin Galungan. Umat disilahkan menikmati semua anugerah yang dilimpahkan Sang Hyang Widhi Wasa. Hari ini memperbaharui sesajen/nganyarin sambil menikmati seni budaya yang keliling (ngelawang).
Pahing Galungan, Sukra Pahing Dungulan,
masih dalam keadaan waspada dengan kesucian bathin.
Pamaridan Guru, Saniscara Pon Dungulan, ialah hari ngeluhurnya (naiknya) para Dewa Kabeh, dengan meninggalkan atau menganugerahkan kesejahteraan di dunia ini. Biasanya pada saat ini umat melakukan Tirthayatra ke tempat suci. Menghaturkan sesajen/banten anaman, canang raka, dan wangi-wangian sederhana.
Ulihan, Redithe Wage Kuningan
ialah hari Angulihaken prikramaning pratekaning Kuningan. Saat inilah waktunya mengenang jasa para leluhur yang telah meninggalkan kita, serta melanjutkan perjuangannya menegakkan kebenaran/dharma.
Pamacekan Agung, Soma Keliwon Kuningan,
ialah hari memanjatkan tekad yang baik di tengah-tengah kesucian bathin, karena hari pamacekan artinya 'Pacek' yang berarti tengah. Yaitu hari diantara Galungan dan Kuningan, tepatnya 5 hari setelah Galungan, dan 5 hari sebelum Kuningan. Filosofinya adalah kita berada di tengah-tengah kesucian bathin. Pada saat ini menghaturkan Segehan Agung di muka pintu gerbang.
Penampahan Kuningan, Sukra Wage Kuningan
ialah hari untuk mempersiapkan bahan untuk besoknya (Kuningan).
Tumpek Kuningan, Saniscara Keliwon Kuningan,
ialah hari turunnya kembali Dewa-Dewi, Bhatara-Bhatari diiringi para Pitara namun hanya sampai tengah hari (12.00 siang), sesuai dengan hari Sugimanek Jawa. Pada hari ini umat sebaiknya introspeksi diri dengan cara konsentrasi, meditasi, demi kesejahteraan umat. Sarana upacara hari ini adalah selanggi, tebog, gantung-gantungan (endongan), pada tiap- tiap bangunan rumah dan perlengkapannya. Pada halaman rumah menghaturkan Segehan Agung, umat/orangnya ngayab sesayut prayascita lewih, sesayut segan kuning, iwak itik putih, dan penyeneng.
Pegat Wakan, Budha Keliwon Pahang
ialah hari berakhirnya melakukan Tapa-Brata karena telah berjalan selama 42 hari. Terhitung dari Sugimanek Jawa sampai Budha Keliwon Pahang (Pegat Wakan). Selanjutnya umat melaksanakan atau mengamalkan hasil Tapa-Bratha yang berguna untuk masyarakat, sebagaimana menjelang permulaan hari raya. Pada saat ini umat mempersembahkan sesayut dirgayusa, penyeneng, dipersembahkan kehadapan Hyang Widhi Wasa.
Yang Unik dari Galungan dan kuningan adalah Penjor
Penjor merupakan perlambang dari Gunung Agung sekaligus perlambang kehadiran Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan. Penjor sendiri sebetulnya sarat akan makna/penuh arti. Pada penjor digantungkan hasil-hasil pertanian seperti padi, jagung, kelapa, jajan, dll. Juga terdapat barang sandang seperti kain/kasa, serta uang. Ini merupakan sebuah peringatan/tanda yang perlu diingat oleh semua manusia, bahwa apa yang kita nikmati di dunia ini adalah atas karunia-Nya.
Pemasangan penjor dilakukan paling lambat pada Hari Penampahan Galungan. Penjor adalah perlambang Gunung Udaya/Tohlang kir atau Gunung Agung, untuk menyatakan rasa terima kasih dan bersyukur atas hasil bumi yang dianugerahkan. Gunung Agung merupakan perlambang kesucian sebagai perantara terhadap Gunung Semeru, Gunung Himalaya atau Mahameru yang dipercaya sebagai tempat sthananya Bhatara Putra Jaya.
Dipetik dari: http://www.baliaga.com/indonesia/religi/religidasar_galungan.html