Tiga Bulanan
photo oleh : Kayun
Upacara
Tiga Bulanan dilaksanakan pada saat bayi berusia 105 hari atau tiga
bulan menurut perhitungan Kalender Bali, yaitu 3 x 35 hari = 105 hari.
Tujuannya adalah:
- Berterima kasih kepada “nyama bajang” atas bantuannya menjaga si-bayi sewaktu masih di dalam kandungan dan karena tugasnya sudah selesai, memohon nyama bajang kembali ke tempatnya masing-masing.
- Menguatkan kedudukan Atman yang “numitis” di tubuh si-bayi.
- Mensucikan si-bayi.
- Meresmikan nama yang diberikan orang tua kepada si-bayi.
PENJELASAN NO. 1
Menurut Lontar Tutur Panus Karma, Nyama
Bajang adalah kelompok kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa yang bertugas
membantu “Kanda Pat” dalam menjaga si-bayi dalam kandungan.
Nyama Bajang terdiri dari 108 mahluk
halus, antara lain bernama: bajang colong, bajang dedari, bajang dodot,
bajang lembu, bajang yeh, bajang tukad, bajang ambengan, bajang papah,
bajang lengis, bajang bukal, bajang kunir, bajang simbuh, bajang deleg,
bajang bejulit, bajang yuyu, bajang sapi, bajang kebo, bajang helang,
bajang kurkuta, bajang lelawah, bajang kalong, bajang kamumu, bajang
haa, dan lain-lain.
Kanda Pat adalah: ari-ari, lamas, getih,
dan yeh nyom. Bila nyama bajang tugasnya selesai segera setelah bayi
lahir, maka Kanda Pat terus menemani bayi sampai besar – tua bahkan
sampai meninggal dunia dengan perubahan nama sebagai berikut:
Segera setelah si-Ibu tidak menstruasi,
Kanda Pat terbentuk dengan nama Karen (calon ari-ari), Bra (calon
lamas), Angdian (calon getih), dan Lembana (calon yeh nyom); embrio
bernama Lengprana.
Ketika kandungan berusia 20 hari Kanda
Pat bernama Anta (calon ari-ari), Prata (calon lamas), Kala (calon
getih), Dengen (calon yeh nyom); si-jabang bayi bernama Lilacita.
Kandungan berusia 40 minggu/ bayi lahir, Kanda Pat bernama Ari-ari, Lamas, Getih, dan Yeh nyom; bayi bernama I Pung.
Setelah tali pusar mengering dan putus,
Kanda Pat bernama I Mekair (ex ari-ari), I Salabir (ex lamas), I Mokair
(ex getih), dan I Selair (ex yeh-nyom); si bayi bernama I Tutur Menget.
Setelah bayi belajar berkata-kata, Kanda
Pat bernama Sang Anggapati (ex ari-ari), Sang Prajapati (ex lamas),
Sang Banaspati (ex getih), dan Sang Banaspati Raja (ex yeh nyom); si
bayi bernama I Jiwa.
Anak remaja berusia 14 tahun atau gadis
yang telah menstruasi pertama, Kanda Pat bernama Sang Sida Sakti (ex
ari-ari), Sang Sida Rasa (ex lamas), Sang Maskuina (ex getih), dan Sang
Aji Putra Petak (ex yeh nyom); anak bernama I Lisah.
Manusia sudah tua/ bercucu, Kanda Pat
bernama Sang Podgala (ex ari-ari), Sang Kroda (ex lamas), Sang Sari (ex
getih), dan Sang Yasren (ex yeh nyom); manusia bernama Sang
Ramaranurasi.
Bila manusia baru meninggal dunia, Kanda
Pat bernama Sang Suratma (ex ari-ari), Sang Jogormanik (ex lamas), Sang
Mahakala (ex getih), dan Sang Dorakala (ex yeh nyom); Atma bernama Sang
Manjing.
Atman yang masih dibungkus oleh
Karmawasana ber-reinkarnasi ke dunia, sedangkan Atman yang sudah bebas
dari bungkusan Karmawasana bersatu dengan Tuhan (Kanda Pat bersatu
pada): Siwa (ex ari-ari), Sada Siwa (ex lamas), Parama Siwa (ex getih),
dan Sunia Siwa (ex yeh nyom).
Pada waktu Upacara Tiga Bulanan, sebagai
ucapan terima kasih dan ucapan “selamat jalan” (semacam farewell party)
kepada Nyama Bajang, dilaksanakanlah acara “Mebajang colong” atau
“Mecolongan”.
Upakara yang disiapkan adalah banten Bajang Colong sedangkan Nyama Bajang disimbolkan dengan “raregek”.
Selain itu Kanda Pat juga diupacarai dan
disimbolkan sebagai berikut: papah kelapa (kalau ada yang bolong)
simbol ari-ari, mentimun simbol lamas, pusuh (jantung pisang) simbol
getih, dan batu bulitan simbol yeh nyom.
Peralatan/ upakara lainnya yang
digunakan: ayam pesolsolan simbol atma, pane simbol bumi, air dalam pane
simbol akasa, lesung batu simbol kekuatan, tangga tebu simbol Sanghyang
Semara Ratih, palit tangga tebu dari kayu dap-dap tiga buah simbol
utpti-stiti-pralina, gelang kaki simbol Brahma, gelang tangan simbol
Wisnu, dan pupuk simbol Siwa.
Terlebih dahulu simbol-simbol itu diupacarai dengan urutan: mareresik, mapasupati, matepung tawar, malis-lis, dan ngayab banten.
Setelah simbol-simbol itu diupacarai,
segera di-pralina: raregek dan papah dibawa ke pinggir sungai diiringi
lagu “Bibi anung”, batu bulitan, pusuh, dan mentimun ditanam di dekat
tanaman ari-ari.
Setelah itu barulah bayi dimandikan
di-pane setelah menaiki tangga tebu tanpa menginjak tanah, diteruskan
dengan “megogo-gogoan”.
PENJELASAN NO. 2
Setelah megogo-gogoan, bayi natab banten
Bajang Colong yang tadi digunakan untuk simbol-simbol itu, kemudian
mapasolsolan ayam sebagai simbol menguatkan kedudukan atma pada tubuh si
bayi.
PENJELASAN NO. 3
Sebelum bayi natab banten sambutan,
dilakukan upacara “mapetik”, yaitu memotong rambut bayi di lima tempat,
yaitu di ubun-ubun, di samping kanan, belakang, samping kiri, dan di
“usehan” sebagai simbol membuang “leteh” atau kotoran karena rambut
itulah yang dibawanya sejak dari rahim Ibu.
Dengan rangkaian upacara ini maka
hilanglah sebel (cuntaka) bagi si-bayi. Apabila ada orang yang belum
diupacarai tiga bulanan, walaupun sampai tua dia tetap sebel (cuntaka).
PENJELASAN NO. 4
Setelah selesai acara natab sambutan,
maka bayi dihadapkan ke Palinggih Kemulan. Tanah di depan Kemulan
terlebih dahulu dirajah dengan gambar Bedawang Nala, diperciki tirta
palukatan/ pabersihan; kaki bayi dicuci dengan air biasa, lalu
diinjakkan di tanah itu tiga kali sembari matur kepada Ida Bethara
Kemulan nama yang diberikan kepada si bayi.
Inilah pertama kali bayi boleh
menginjakkan kakinya di tanah. Pemberian nama kepada bayi mengandung
nilai sakral karena dilakukan di hadapan Ida Bethara Kemulan. Oleh
karena itu nama seseorang tidak boleh diganti oleh siapapun kecuali oleh
Ayah-Ibu kandungnya.
Di masyarakat sering terjadi kekeliruan,
yaitu mengganti nama orang seenaknya, misalnya oleh yang bersangkutan
sendiri dengan maksud agar kelihatan lebih keren.
Selain itu bagi wanita keturunan orang
tidak bertitel Triwangsa, jika dikawini oleh laki-laki keturunan orang
yang bertitel Triwangsa, lalu namanya diganti dengan sebutan Jero. Nama
Jero … itu “anugerah” dari pihak laki-laki, katanya untuk meningkatkan
status “wangsa” si gadis.
Menurut Lontar Dharma Kauripan, tindakan
ini salah karena menghianati kasih sayang Ayah-Ibu (Guru Rupaka),
apalagi kalau ayah-ibu kandungnya sendiri lalu “matur” kepada anaknya
dengan sebutan Jero.
Anak dan keturunannya kemudian tidak
akan menemukan kebahagiaan karena mengabaikan salah satu “Panca Srada”,
yaitu hormat kepada leluhur.
Inilah salah satu contoh paham
feodalisme yang meracuni Agama Hindu. Seharusnya nama gadisnya tetap
digunakan selama hayat di kandung badan.
Lain halnya dengan seseorang yang
me-Dwijati, nama ketika Walaka diganti dengan nama baru (Bhiseka) karena
orang yang bernama Walaka itu telah “seda raga” sehari sebelum upacara
Padiksaan.
Pada upacara Padiksaan lahirlah seorang
Brahmana dari Mpu Nabe (Guru putra) dan Gayatri (Weda) di mana Mpu Nabe
memberikan nama (Bhiseka) yang baru.
Di zaman dahulu, Raja-raja juga berganti
nama setelah dinobatkan (Bhiseka Ratu) oleh Pendeta (Mpu Nabe) sebagai
raja; misalnya Airlangga ketika dinobatkan sebagai Raja Kediri pada
tahun 1019 Masehi bergelar Sri Maharaja Rakehalu Sri Lokaiswara
Dharmawangsa Erlangga Anantawikramattunggadewa.
Kemudian setelah berusia lanjut beliau
meninggalkan tahta kerajan lalu menjadi Pendeta di mana Mpu Nabe-nya
memberikan Bhiseka: Rsi Jatayu.
Bagi para rohaniawan Ekajati karena
tidak melalui upacara Seda Raga namanya tidak diganti tetapi diberikan
gelar kesucian misalnya Jero Mangku, Jero Mangku Gede, Jero Dalang, Jero
Gede dan lain-lain, tidak beda dengan gelar-gelar keahlian dewasa ini
misalnya SE, SH, Drs, dr, Dr, Prof, dll.
Dalam kasus-kasus itu nama kelahiran
tetap tidak diganti. Demikianlah segi sakral suatu nama bagi seseorang
menurut pemahaman Agama Hindu yang benar.
dikutip dari : http://stitidharma.org/tiga-bulanan/